“Deep Learning” atau Sekadar Ganti Istilah Biar Keren?
Suatu sore, anak saya yang masih SD pulang dengan muka ditekuk. Mukanya lecek kayak kanebo kering. Saya tanya, “Kenapa, Le? Kok mukamu nggak ada unsur seninya sama sekali?”
Dia nyodorin kertas ulangan. Pelajaran IPS. Isinya daftar nama-nama pahlawan, tanggal lahir, dan asal daerah. Nilainya 90. Tapi di bawahnya ada satu soal esai yang nilainya nol. Bunyi soalnya, “Menurutmu, apa sifat pahlawan yang paling penting untuk ditiru di zaman sekarang? Jelaskan!”
Anak saya nggak jawab. Kosong mlompong.
Saya tanya lagi, “Lho, ini kan soal gampang. Kenapa nggak diisi?”
Jawabannya bikin saya pengen misuh sambil ngelus dada. “Aku nggak tahu, Pak. Yang dihafalin cuma nama sama tanggalnya. Nggak pernah diajarin sifatnya buat apa.”
Jebulnya, anak saya ini sukses jadi mesin fotokopi, tapi gagal jadi manusia yang berpikir. Dia tahu APA nama pahlawannya, tapi nggak ngerti MENGAPA mereka penting dan BAGAIMANA meneladani mereka. Dan melihat fenomena ini, saya kok curiga jangan-jangan sebagian besar anak di negeri ini nasibnya sama.
Terus, Muncul Istilah Keren: “Deep Learning”
Nah, di tengah kegelisahan orang tua model saya ini, pemerintah lewat Kemendikbudristek datang dengan istilah yang kerennya bukan main: Deep Learning. Pembelajaran Mendalam.
Dengar namanya saja sudah ndakik-ndakik. Kedengarannya kayak sesuatu yang berhubungan sama robot, kecerdasan buatan, atau minimal film sci-fi. Orang awam seperti kita ini gampang gumunan (mudah kagum) sama istilah ginian.
Tapi tunggu dulu. Jangan keburu silau.
Deep learning yang dimaksud Pak Menteri ini untungnya bukan soal coding atau algoritma yang bikin kepala ngebul. Konsep ini justru sangat manusiawi. Gampangnya begini: Pemerintah ingin anak-anak kita berhenti jadi hard disk berjalan yang cuma bisa menyimpan data, lalu memuntahkannya pas ujian.
Tujuannya mulia: biar anak-anak kita belajar sampai benar-benar ngelotok di dalam hati dan pikiran, bukan cuma nempel di permukaan otak.
Biar nggak ribet, ada tiga tiang utama dari konsep ini yang wajib dipahami bapak, ibu, dan para guru yang budiman.
Tiga Rahasia Biar Anak Nggak Jadi Robot Sekolah
1. Belajar yang Bermakna (Meaningful Learning)
Ini intinya: Apa gunanya? Anak-anak kita harus tahu apa relevansi pelajaran di sekolah dengan kehidupan nyata mereka.
Lha wong kita saja kalau disuruh ngerjain sesuatu tanpa tahu tujuannya pasti ogah-ogahan, kan? Apalagi anak-anak.
- Untuk Guru: Berhentilah bilang, “Pokoknya hafalkan saja rumus ini, nanti keluar di ujian!” Coba ganti dengan, “Anak-anak, kita belajar persentase ini biar nanti kalau ke mal lihat diskon 50% + 20% nggak gampang dikibulin.” Langsung relevan, kan? Belajar tentang rantai makanan? Ajak mereka ke sawah atau kebun belakang sekolah. Biar mereka lihat sendiri, bukan cuma baca di buku paket yang gambarnya kadang aneh.
- Untuk Orang Tua: Di rumah, coba kaitkan obrolan dengan pelajaran. Kalau lagi masak, ajak anak menimbang bahan sambil ngobrolin matematika. Kalau lihat berita banjir, sambungkan ke pelajaran geografi tentang pentingnya daerah resapan air. Jangan cuma tanya, “Tadi PR-nya apa?”
2. Belajar dengan Kesadaran Penuh (Mindful Learning)
Maksudnya, anak itu sadar dan fokus dengan apa yang dia pelajari. Dia tahu kenapa dia belajar, apa tujuannya, dan bagaimana cara terbaik buat dia untuk paham. Proses belajarnya disengaja, bukan sekadar rutinitas berangkat pagi pulang siang tanpa dapat apa-apa.
- Untuk Guru: Ciptakan momen “Aha!” di kelas. Jangan cuma ceramah. Lempar pertanyaan provokatif. “Menurut kalian, kenapa air laut asin tapi air hujan tawar?” Biarkan mereka berdebat, mencari tahu, bahkan salah sekalipun. Proses berpikirnya itu yang mahal.
- Untuk Orang Tua: Ajari anak merefleksikan apa yang dia alami. Sebelum tidur, daripada langsung sodori HP, coba ajak ngobrol. “Hari ini di sekolah, bagian mana yang paling bikin kamu penasaran?” atau “Ada nggak pelajaran tadi yang bikin kamu bingung?”
3. Belajar yang Menyenangkan (Joyful Learning)
Ini yang paling krusial. Sekolah jangan sampai jadi tempat yang bikin mblenger. Kalau anak sudah berangkat dengan perasaan tertekan, ya jangankan deep learning, shallow learning pun nggak bakal masuk.
Suasana belajar harus positif. Anak harus merasa aman untuk bertanya, aman untuk gagal, dan bebas untuk berkreasi.
- Untuk Guru: Gunakan metode yang beragam. Main peran, bikin proyek, belajar di luar kelas. Tertawalah bersama murid-murid Anda. Kelas yang penuh tawa seringkali merupakan kelas yang paling banyak ilmunya.
- Untuk Orang Tua: Hargai proses anak, bukan cuma hasilnya. Nilai 7 hasil jerih payah dan pemahaman jauh lebih mulia daripada nilai 10 hasil menghafal semalam suntuk. Jangan jadikan nilai sebagai satu-satunya tolak ukur kebahagiaan.
Jadi, deep learning ini pada dasarnya adalah upaya mengembalikan fitrah belajar: sebuah petualangan yang bermakna, disadari, dan menyenangkan. Tugas kita bersama—guru di sekolah, orang tua di rumah—adalah memastikan istilah keren ini tidak berakhir jadi jargon kosong di seminar-seminar, tapi benar-benar mewujud di ruang kelas dan ruang keluarga kita.
Karena pada akhirnya, kita tidak sedang mencetak robot pekerja. Kita sedang membesarkan manusia.




